Minggu, 09 Oktober 2011

Review Film : Red State (2011)


Warning : It may contain spoilers !

Selama ini Kevin Smith dikenal sebagai sutradara spesialis film komedi. Mulai dari film-film yang masuk di View Askewniverse termasuk di dalamnya Clerks, Mallrats, Chasing Amy, Dogma, Jay and Bob Strikes Back, dan Clerks II, serta film di luar itu termasuk Jersey Girl dan Zack and Miri Make Porno. Dengan rekam jejak seperti itu, para penggemar dibuat kaget saat dia ngumumin bahwa karya selanjutnya setelah Cop Out adalah sebuah film horror. Film yang mengambil latar belakang agama dan politik ini hasilnya memang benar-benar beda dari film-film dia sebelumnya. Sayang penggarapan yang telalu ambisius dalam membuat film ini engga punya hasil yang maksimal.

Tersebutlah 3 anak SMA bernama Travis, Jarod dan Billy-Ray. Sama seperti anak-anak seumuran mereka lainnya, ketiganya sedang dalam fase dimana hanya ada dua hal dalam pikiran mereka, yaitu : seks dan hal lainnya. Maka ketika di jejaring sosialnya datang sebuah undangan pesta seks dari seseorang di Coopersdell yang letaknya “di situ doang”, datang dan memastikannya adalah langkah yang paling tepat bagi mereka. Meskipun undangan itu berasal dari wanita yang usianya hampir sama dengan ibu mereka. Satu hal yang ada dalam otak mereka adalah “I’m gonna fuck tonight”

Dengan wagon biru pinjaman dari ayah Travis, ketiga pemuda horny ini pun berkendara ke Coopersdell. Entah gara-gara hilang konsentrasi karena engga sabar buat memanjakan kelaminnya atau gara-gara meleng karena nyetir sambil sibuk ngebir plus bercanda, Travis sempet nyerempet sebuah mobil yang sedang parkir di pinggir jalan. Sempat berhenti untuk mengecek, mereka memilih lari setelah tahu di dalam mobil itu ada orangnya. Siapa juga yang peduli pada mobil yang penyok saat ternyata mereka bisa sampai tujuan? Nyonya rumah yang menurut mereka ternyata masih mendingan ini pun menyambut dengan berbotol-botol bir, katanya sih sebagai semacam stimulan. Selesai dengan birnya, ternyata bukan ibu-ibu telanjang dan kenikmatan seks yang mereka dapatkan.


Jarod terbangun dari pingsannya dan menyadari bahwa dia dan teman-temannya telah dijebak. Ibu-ibu itu ternyata anggota sebuah kelompok fundamentalist, jemaat gereja Five Points. Gereja ini dipimpin oleh Abin Cooper, seorang pastor tua yang selalu menyampaikan khotbah-khotbah yang berisi kebencian pada orang-orang yang dianggap menentang agama, semacam Habib Rizieq kalau di Indonesia. Dan sama seperti FPI, para jemaat Five Points ini pun merasa sebagai wakil Tuhan di dunia, sudah tugas mereka untuk menghukum para pelaku maksiat. Beda dengan FPI yang keliatannya grusa-grusu dan haus sorotan kamera, kelompok ini lebih sistematis dan rahasia. Mereka mendapat korbannya dengan memasang jebakan di dunia maya dan mengeksekusinya di gereja mereka sendiri. Kesamaannya, kelompok-kelompok seperti ini engga pernah melakukan apapun kecuali teror, dan itulah yang harus dihadapi Jarod dan kawan-kawannya.

Red State mengawali kisahnya dengan sangat baik. Pengenalan karakter yang singkat dan engga bertele-tele, bikin kita engga perlu menguap berkali-kali sepanjang 20 menit pertama seperti biasanya kita nonton film. Segera, kita dibawa masuk ke dalam teror yang disebarkan Abin Cooper dan para jemaat Five Points Church. Khotbah Abin Cooper soal kemaksiatan harus dilawan sangat efektif untuk ditampilkan di layar, betapapun lamanya bagian itu menyita durasi film. Khotbahnya bisa mengganggu siapapun penontonnya (yang setuju/engga, yang simpatik/benci) untuk alasan-alasan yang berbeda. Begitu pula saat mereka mengeksekusi seorang pendosa sambil menyanyikan lagu-lagu rohani dengan wajah yang tersenyum damai. Sekali lagi, kata yang tepat adalah menganggu. Sampai di sini, walau masih ada pada level rendah, intensitas ketegangan sudah mulai terbangun. Maka, dalam pikiran saya adegan-adegan selanjutnya adalah ketegangan-ketegangan total yang digarap dalam formula slasher pada umumnya.

Namun anehnya, tepat pada saat ketegangan baru di mulai dan teror yang lebih horor baru akan datang, Red State justru mendadak berubah jadi sebuah film action! Bukannya membiarkannya ketiga remaja ini kejar-kejaran dengan jemaat Five Points dan saling membunuh pada akhirnya, Kevin Smith justru memutuskan melawan para fundamentalis ini “lewat jalur hukum” dengan mendatangkan polisi! (lebih tepatnya ATF Agents). Ya Tuhan! Kemudian kita hanya diberi drama baku tembak yang membawa Red State menuju bagian ketiga, sebuah ending yang hancur lebur. Sebuah komedi yang sangat menggelikan, dalam arti negatif.

Emang sih, sejak awal Kevin Smith engga pernah bener-bener menjanjikan sebuah film horror. Dia bilang akan membuat sebuah film horror, “yaaa kalo itu dianggap termasuk film horror sih”. Saat itu sebenernya saya sudah menyiapkan diri buat engga memiliki ekspektasi apa-apa soal film ini, tapi ternyata tetep aja hasilnya mengagetkan. Oke, Red State mungkin emang bukan horror pada umumnya. Tetapi letak perdebatannya bukan pada hal itu. Engga pernah ada yang benar-benar peduli ini film termasuk horror atau bukan. Yang jadi masalah adalah perubahan genre antar sub plot yang dipaksakan di film ini.


Atmosfer horor yang udah dibangun di bagian pertama film ini saya rasa cukup potensial untuk dilanjutkan. Kenapa tiba-tiba berubah jadi film action? Seandainya Red State sejak awal diniatkan sebagai hybrid, katakanlah horror action atau horror comedy, mungkin malah engga akan jadi masalah ketimbang mengubah genre secara mendadak ditengah film seperti ini. Sebetulnya pun, model switch genre seperti ini engga masalah kalau eksekusinya bagus. Robert Rodriguez pernah melakukannya di From Dusk Till Dawn, di mana bagian pertama bergenre action dan berubah jadi horror di bagian kedua. Masalahnya Kevin Smith gagal melakukannya di Red State.

Saya masih saja bingung dengan keputusan ubah genre itu. Ada dua asumsi : Pertama, Kevin Smith sedang mencoba berinovasi dan memilih lepas dari gaya penceritaan dan plot film horror pada umumnya. Hasilnya adalah sebuah bukti bahwa engga selalu inovasi dan perubahan itu menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Kedua, Kevin Smith kebingungan waktu menulis Red State. Engga terbiasa dengan gaya film horror yang straight forward dan minim eksplanasi, film ini jadi kebawa gayanya yang selalu ingin bercerita dan bertutur banyak hal. Hasilnya adalah sebuah bukti bahwa melakukan perubahan gaya dan ciri khas itu bukan sesuatu yang mudah, seengganya buat Kevin Smith.

Saya sih cenderung menganggap mungkin berdasar asumsi pertama. Soalnya, keliatan di sini bahwa Kevin Smith terlalu ambisius menyampaikan suaranya. Dia engga mau berhenti pada sindirannya buat para ekstrimis relijius. Sekalian aja dia kasih satir politik tentang aparat pemerintah yang di sini diwakili ATF Agents. Hal ini yang bikin Red State jadi kehilangan fokus.

Karena sebenarnya, dengan kebiasaan bertutur yang mumpuni dalam penulisannya, jika ketiga bagian film ini dianggap berdiri sendiri, sebetulnya masing-masing bagian bukan merupakan sesuatu yang buruk. Masing-masing punya cerita yang kuat dengan dialog-dialog mengesankan khas Kevin Smith. Ini seperti menonton 3 film berurutan. Tetapi sekali lagi dengan catatan jika ketiganya dianggap sebagai bagian-bagian yang berdiri sendiri. Kenyataannya ketiganya adalah bagian-bagian sebuah film dalam satu rangkaian cerita. Maka yang terpampang adalah sebuah kekacauan.

Mengesampingkan cerita yang berantakan tersebut, Red State masih punya poin-poin positif. Pertama adalah penampilan mengesankan dari seluruh pemeran. Terutama Michael Parks sebagai Pastor Abin Cooper yang dengan khotbah-khotbah kebenciannya dan operasi lapangannya sukses bikin pendukungnya setuju dan pembencinya geram setengah mati. Poin positif kedua adalah Red State bisa dibilang berhasil secara visual. Tata kamera dan editing yang memuka patut menuai pujian. Cek aja adegan kejar-kejaran di tangga yang keren itu. Dari segi teknis gambar, mungkin ini film terbaik Kevin Smith sejauh ini.

Tetapi walaupun diakui istimewa, poin-poin positif tadi engga mampu menyelamatkan Red State secara keseluruhan. Untuk berusaha objektif, saya memandang film ini engga sebagai seorang fan Kevin Smith yang kecewa karena karya idolanya engga sesuai harapan. Saya mengapresiasi Red State sebagai seorang penikmat film yang yang gemar nonton film apa aja. Dan kenyataannya, film yang dulu berstatus film yang paling saya tunggu di 2011 ini akhirnya menjadi salah satu film yang paling engga menyenangkan.

3 komentar:

  1. pdahal di posternya itu udah jelas ya tertulis "A Film Horror" :D

    Tapi kayanya bagus2 aja ya. Tar coba nonton deh. :)

    BalasHapus