Minggu, 08 November 2009

Bangsa Euforia

Sebenarnya hal ini udah cukup lama mengendap di pikiran saya, berkali-kali ingin saya buat tulisan tapi engga sempet-sempet dan belum dapet moodnya. Baru kali ini saya tulis gara-gara liat running text di salah satu TV swasta yang ada kaitannya dengan pemikiran saya ini. Ya, tiba2 saja saya ingin segera menuliskannya sebelum kehilangan momen lagi.. haha..

Entah kenapa, saya rasa banyak sekali orang yang sangat mudah mengikuti apa yang tengah menjadi issue hangat di masyarakat. Jika yang dimaksud adalah mengikuti perkembangan informasi maka itu adalah suatu hal yang sangat baik. Tapi yang saya maksud di sini, masyarakat kita mudah sekali percaya pada informasi yang dia dapat. Kebanyakan informasi itu diterima tanpa di saring, atau setidaknya dipahami duduk masalahnya. Lebih parah, masyarakat sering ikut-ikutan terlibat dalam issue yang berkembang tersebut tanpa mencerna apa yang sebenarnya terjadi.

Kemarin malam saya liat running text di salah satu TV swasta yang bertuliskan "Gerakan Dukung Bibit - Chandra di Facebook telah mencapai 1,2 member". Itu dia sesuatu yang mengganjal hati saya sekaligus membuat saya memutuskan menulis catatan ini. Gerakan Dukung Bibit Chandra itu dibuat sebagai tanggapan atas ditangkapnya dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah, pada Kamis 29 Oktober 2009. Detailnya saya tidak tahu karena saya memang tidak mengikuti kasus itu (dan kasus2 serta berita2 lain di TV :p). Seperti tertera di running text itu, dalam waktu singkat sejak pembuatannya hingga hari ini (09 November 2009) membernya telah mencapai sekitar 1,2 juta member. Termasuk banyak sekali teman2 saya di FB yang ikut berpartisipasi sebagai member. Wow! hanya beberapa hari saja sudah sebesar itu dukungan bagi Bibit - Chandra. Seharusnya ini menjadi indikasi bahwa masyarakat kita sekarang lebih kritis berpikir, melek hukum, setidaknya peka jaman, peka kondisi, dan seterusnya. Sekarang yang jadi pertanyaan adalah apakah dari 1,2 juta member itu semuanya benar2 mengerti kasus yang terjadi?

Saya yakin tidak! Tanpa meremehkan pengetahuan dan sikap mereka akan kasus ini, saya tetap kurang yakin 1,2 juta itu benar2 mengerti apa yang sedang terjadi, apa yang salah, apa yang mereka bela, dan apa-apa yang lain. Saya terlalu pesimis untuk mengakui seluruh dari 1,2 juta member itu benar-benar sadar kondisi saat mengklik link untuk bergabung grup dukungan itu. Saya rasa banyak dari member grup itu yang ikut2an bergabung hanya karena issue ini telah menjadi issue hangat yang di ekspose (nulisnya gimana sih?) besar2an oleh media, karena teman2 mereka ikut grup yang sama sehingga kalo engga ikut takut dikira engga ngerti apa2, atau mereka yang ikut karena iseng karena join grup di fesbuk adalah hal yang sangat mudah terlebih dengan fasilitas suggestion/invitation dari teman2 yang sebelumnya tau/gabung. Ini yang menjadi kebimbangan saya. Jika analisis saya benar *tsah.. berarti 1,2 juta itu tidak menggambarkan apa2. Jika ternyata (ini misalnya lho ya, kan praduga tak bersalah) Bibit-Chandra bersalah, tapi dilepaskan gara2 banyak dukungan, maka simpulkan sendiri. Bahkan jika Bibit-Chandra benar sekalipun, 1,2 juta itu menjadi angka yang nirmakna, karena tidak semua mengerti (bahkan saya yakin lebih banyak yang tidak benar2 mengerti kasusnya sepenuhnya). Jika itu benar, indikasi yang saya sebutkan di atas gagal total. Masyarakat kita masih kurang kritis, tidak peka jaman, hanya mengikuti jaman, korban euforia semata.


Sekedar info, saya tidak bergabung dengan grup itu karena memang saya tidak benar-benar mengerti apa yang sebenarnya terjadi, dan saya tidak ingin memperjuangkan apa yang tidak saya yakini.


Mungkin memang saya saja yang terlalu pesimis menilai masyarakat kita, tapi saya memikirkan hal lain pula. Belakangan ini hubungan Indonesia dengan Malaysia sedang renggang karena berbagai sengketa yang terjadi, terutama dalam hal kebudayaan. Sejujurnya bagi saya yang bukan seorang nasionalis yang percaya garis2 batas wilayah negara, lagi-lagi masalah ini tidak menjadi perhatian utama dalam hidup saya, mendingan saya nongkrong di C6 atau buka satu tab di Google Chrome saya selama 8 jam.. hahha.. (yang ngerti jangan berisik!). Tapi bagaimanapun, saya lahir dan besar di wilayah ini, jadi sedikit banyak issue ini tetap melintas dibenak saya. Dan lagi-lagi saya merasa bukan sebagai bagian dari masyarakat :( Oleh media, kita diberitahu bahwa budaya kita yang ini diklaim, besoknya budaya kita yang satu lagi diklaim juga, lusanya budaya kita yang lainnya lagi diklaim lagi, dan seterusnya. Bisa jadi benar adanya. Kemudian oleh karena kejadian itu, tiba-tiba saja nasionalisme masyarakat kita tumbuh 1945 kali lipat dari sebelumnya! Tiba-tiba saja, semua memaki-maki Malaysia, tiba-tiba saja semua orang menjadi lebih "berbudaya".

Saya heran dengan masyarakat kita, lha dulu pada kemana waktu budaya-budaya itu belum diklaim Malaysia? Emang pada pernah liat wayang kulit? Emang pada tau tarian ini darimana, tarian itu gerakannya gimana? Emang pada dengerin musik apa kalian? Iya, saya tau pasti masih banyak masyarakat kita yang ngerti budaya kok, masih banyak pemuda-pemudi yang mengapresiasi budayanya dengan sangat baik. Kalo saya sejujurnya engga mengapresiasi dengan baik, dan saya yakin lebih banyak anggota masyarakat saya lainnya yang juga sama dengan saya. Lalu kenapa mereka baru berkoar-koar ketika budaya mereka di klaim? Saya sih engga ikut2an lho walopun sedikit kepikiran kok seenaknya aja Malaysia mengklaim demi uang.

Daripada nonton wayang kulit gratis di Alun-Alun, lebih memilih menghabiskan gaji sebulan buat nonton The Ataris di ibukota negara =.=' Kalo kata Ringo "gue baru tahu tari piring itu dari Sumatera Barat heheh.. habis mau gimana lagi?, Sonic Youth ama Nirvana itu lebih keren sih. hahahaha" Ya, kalo soal yang ini udah pernah beliau bahas di sini silakan dibaca untuk membuka pandangan rekan2 sekalian :) Gitu kok mau nasionalis :p

Nasionalisme paruh waktu itu, kembali menggambarkan masyarakat kita yang masih mudah terpengaruh tren. Apa yang menjadi topik utama, ya dia merasa harus ambil bagian. Inget tanggal 2 Oktober 2009 kemarin? Presiden menyarankan masyarakat untuk bersama-sama mengenakan Batik sebagai peringatan atas diakuinya Batik sebagai warisan budaya Indonesia. Sekilas, saran yang sangat bagus bukan? Maka kemudian beramai-ramailah orang2 pake batik, saya aja ke kampus ampe mabok batik! banyak bedh yang pake batik.. =.=' Okelah, apresiasi budaya. Tapi kenapa engga dari dulu sih pake batik? Temen saya Mas Ayat bahkan udah pake batik sejak semester 1 (tahun 2003), tanpa harus disuruh Presiden. Sekarang, ada satu kelas di fakultas saya yang tiap hari tertentu mewajibkan pake batik =.=' plis deh, kenapa engga dibiarin kesadaran aja dari dulu, kenapa harus diwajibkan segala, dan baru sekarang? Dulu aja pada sadarnya pake kemeja flanel, celana pensil, sepatu kets impor =.='

Sebenarnya masih ada beberapa contoh yang pengen saya ungkapkan, kayak Indonesia Unite - Kami Tidak Takut (beneran nih engga takut? bom lho? bukan petasan.. beneran engga takut?), trus di bidang lain kayak musik, bagaimana band2 baru sebegitunya terhina, kasus PWG dan APWG-nya, dan sebagainya dan sebagainya.... Tapi pas saya scroll nih kayaknya kok panjang, jadi udah dulu lah. Banyak-banyak tulisannya juga belum tentu ada isinya.. haha...

Trus kenapa kalo kebanyakan orang cuma ngikutin tren dalam penyikapan terhadap suatu masalah? Buat saya sih, biarin aja. Selain sikap, ini juga masalah selera mau jadi seperti apa. Dan sejak kapan selera ada yang ngatur. Toh, semua orang pasti pernah/selalu ikut-ikutan. Bahkan orang-orang hebat diawali dengan menjadi orang yang cuma ikut-ikutan. Cuma sampai kapan? Sampai kapan kita ikut-ikutan mengamini suatu masalah yang tidak kita pahami benar?